English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 28 Januari 2012

SESULIT MENYEDOT MADU

Kita bernapas setiap saat dalam hidup kita. Kita terus-menerus menghirup dan mengeluarkan udara dari dalam paru-paru kita. Mungkin karena terlalu sering bernapas, kita menganggapnya sebagai hal yang biasa. Namun, bernapas ternyata adalah sebuah pekerjaan yang berlangsung sangat rumit. Seluruh perangkat dan susunan tubuh kita dirancang sedemikian sempurna sehingga kita tak perlu berpikir untuk bernapas.

Mengapa bernapas mudah?

Ketika menghirup udara, oksigen memenuhi sekitar 300 juta ruangan kecil dalam paru-paru kita, yang biasa dikenal sebagai alveoli (tunggal: alveolus). Terdapat pembuluh sangat halus yang berukuran sangat kecil di sekeliling ruangan kecil dalam paru-paru kita. Pembuluh yang biasa disebut pembuluh kapiler ini menyerap gas oksigen (O2) dan melepaskan gas karbon dioksida (CO2). Peristiwa ini berlangsung dalam waktu kurang dari setengah detik: oksigen ‘bersih’ masuk dan karbon dioksida ‘kotor’ keluar. Alasan mengapa ada 300 juta ruang kecil dalam paru-paru adalah agar paru-paru memiliki permukaan seluas mungkin yang dapat bersentuhan langsung dengan udara. Ruangan dalam paru-paru dan pembuluh kapiler yang mengelilinginya dirancang sekecil dan sesempurna ini agar meningkatkan laju pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Namun rancangan sempurna tersebut bergantung pada hal lain, yaitu kerapatan, kekentalan dan tekanan udara. Ketiga hal ini harus memiliki ukuran yang tepat agar udara dapat bergerak masuk dan keluar dari paru-paru. Sebuah contoh akan memudahkan kita memahami hal ini: sangatlah mudah untuk menyedot air dengan jarum suntik, sebaliknya akan jauh lebih sulit jika kita menggunakannya untuk menyedot madu. Ini karena madu memiliki kekentalan dan kerapatan lebih tinggi dari air. Jika kerapatan, kekentalan dan tekanan udara lebih tinggi, maka bernapas akan sesulit menyedot madu ke dalam jarum suntik. Namun, kita dapat bernapas dengan mudah dan nyaman, bahkan tanpa sadar kalau kita sedang melakukannya.

Demikianlah, yang menjadikan bernapas sedemikian mudah di antaranya adalah sifat dan ukuran atmosfer sebagaimana yang ada saat ini. Ahli biologi molekuler Profesor Michael Denton membuat ulasan berikut ini:

Jelaslah bahwa jika kekentalan atau kerapatan udara lebih tinggi, maka hambatan jalur pernapasan akan tak terkira. Dan tak ada perekayasaan ulang yang mungkin dilakukan pada perangkat pernapasan, yang mampu mengalirkan oksigen dalam jumlah cukup kepada suatu makhluk hidup penghirup udara dengan kerja metabolisme tinggi... Dengan memadukan berbagai tekanan atmosfer yang mungkin dengan berbagai kandungan oksigen yang mungkin, menjadi jelaslah bahwa hanya ada satu bagian teramat kecil... di mana seluruh beragam syarat bagi berlangsungnya kehidupan dapat dipenuhi... Sungguh merupakan hal teramat penting bahwa beberapa syarat penting dipenuhi pada satu bagian kecil ini di antara semua ragam atmosfer yang mungkin. (Michael Denton, Nature's Destiny:How The Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe, The New York: The Free Press, 1998, hal. 128)

Ukuran atmosfer tidak hanya penting bagi kita untuk bernapas namun juga penting bagi Planet Biru, yakni bumi kita, agar tetap biru. Jika tekanan atmosfer di permukaan laut jauh lebih rendah dari nilainya yang sekarang, laju penguapan air akan jauh lebih tinggi. Kadar uap air yang meningkat di atmosfer akan mengakibatkan ‘efek rumah kaca’, yang menahan lebih banyak panas dan meningkatkan suhu rata-rata planet bumi. Di lain pihak, jika tekanan jauh lebih tinggi, laju penguapan air akan berkurang, dan mengakibatkan sebagian besar planet ini menjadi gurun.

Lebih dari sekedar biru

Banyak sekali sifat-sifat bumi yang menunjukkan penciptaannya secara khusus untuk kehidupan. Apa yang telah dipaparkan di sini hanyalah sekelumit dari keseimbangan luar biasa yang penting bagi kehidupan di Bumi. Dengan meneliti Planet Biru ini, kita dapat merinci semua sifat ajaib ini sebanyak yang kita mau, lebih dari sekedar warnanya yang biru. Ahli astronomi Amerika Hugh Ross telah membuat perinciannya sendiri dalam bukunya The Creator and The Cosmos (Pencipta dan Jagat Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar